Kenapa Nepal?

Dulu, tahun 2012, saya membaca sebuah buku tulisan Daniel Mahendra tentang perjalanannya mengelilingi Atap Dunia: Negara-negara yang berada pada ketinggian ribuan meter diatas permukaan air laut. Ada satu paragraf dalam buku itu yang menceritakan tentang Pokhara. Sebuah kota kecil yang menjadi gerbang perjalanan mendaki Himalaya bagian Annapurna. Waktu itu, saya hanya berjanji dalam hati, suatu hari saya akan melihat Gunung Himalaya sambil 'berkanoan' di atas danau Fewa, Pokhara. Tahun 2016, seorang teman kantor saya memberikan sebuah buku kosong, "Dream Book" ujar teman saya, meminta saya menempel hal-hal yang ingin saya capai dalam hidup ini. Halaman pertama dalam buku itu saya tempel foto Danau Fewa di Pokhara dengan latar belakang Himalaya. Entah kenapa, saya ingin sekali kesana, hanya untuk kanoan dan menikmati senja. Lalu kemudian, mimpi itu mulai terlupakan. Bukan perkara besar, ucap saya dalam hati.
The first time I saw Phewa Lake, Pokhara

Januari 2018. Saya kembali pada situasi tanpa pekerjaan. Saya memilih untuk berhenti dari pekerjaan saya di Papua. Bagi saya, seorang dengan latar belakang ekonomi, segala sesuatu selalu mengikuti "The law of diminishing return.", pada saatnya "sesuatu" akan memberikan nilai kembali lebih rendah dibandingkan nilai yang dikorbankan. Desember 2017 adalah waktunya saya untuk keluar dari Papua, Kurva Pengembalian saya sudah menyentuh titik itu. Saya tahu, bertahan lebih lama disana tidak akan menambah apa-apa (ya selain rekening tabungan yang menggemuk). Keputusan untuk berhenti kali ini jauh lebih mudah, dibandingkan keputusan yang sama yang saya ambil di tahun 2015. 

"Terus Selanjutnya lo mau ngapain li?" tanya teman-teman saya. 
"Sejujurnya sih gw juga gak tau. Mungkin ini dan itu, tapi ya ga tau lah. Santai aja dulu.". jawab saya sekedarnya. Karena, tidak seperti yang orang pikirkan tentang saya, seseorang yang mencetak angka 10 dari 10 tes psikologi untuk kuadran determinasi, kali ini saya hanya tau: Saya tidak mau tinggal di Papua lebih lama lagi.

Setelah satu bulan berkeliaran di Jakarta, saya kembali menemukan titik penat akan keramaian. 

"It's nice to be home and around with your good friends, but somehow I need to be away. I don't know why." 

Tetapi ada yang berbeda kali ini, sebuah tempat 'memanggil' saya. Lewat mimpi-mimpi saya di tengah malam. Lewat unggahan-unggahan yang muncul. Lewat pembicaraan bersama satu dan dua orang. Saya kembali diingatkan tentang Nepal. Tentang mimpi kecil saya. 
"Ah, tapi ngapain sih kesana, mending juga cari-cari proyek di Jakarta." ucap hati kecil saya. 
Tapi pikiran itu kembali muncul. Hingga suatu hari saya berhenti bertanya "Kenapa Saya Harus kesana?" lalu saya mengubahnya menjadi kalimat negasi. "Kenapa tidak?" "Apa yang menghentikan saya untuk pergi kesana?"
Lalu saya tidak bisa menemukan jawabannya, dan pagi itu, entah kenapa saya merasa sangat konyol jika saya tidak segera membeli tiket ke Nepal.  
Esok sorenya, saya membeli tiket ke Nepal, bodohnya saya membeli tiket Pulang-Pergi. Tidak tahu bahwa nantinya, saya ingin tinggal lebih lama di sisi atap dunia.

Untuk kesekian kalinya, orang tua saya hanya bisa pasrah. Anak bungsunya akan segera pergi ke negara dunia ketiga yang lebih miskin daripada Indonesia, seorang diri, lagi. Saya masih ingat perkataan ayah saya sore itu,

"Kamu nih, berhenti kerja, bukannya cari uang malah pergi-pergi. Harusnya uang dihemat, ditabung." ujarnya kepada saya, tau bahwa dia juga tidak bisa menghentikan langkah kaki saya.
"Nabung buat apa pa?"
"Ya buat nanti jaga-jaga kalau ada perlu."
"Nah keperluannya sekarang ke Nepal." ujar saya sembari bercanda.   

Untuk seseorang yang baru saja kehilangan pekerjaan, uang untuk pergi ke Nepal bukan uang sedikit. Saya tidak tau pasti saya akan bertahan berapa lama dengan tabungan saya yang tidak seberapa ini untuk memulai bisnis dan menghasilkan uang. 

Namun saya butuh momentum kehidupan, dan ketika kehidupan tidak kunjung menciptakan momentum untuk saya, saya akan membuatnya. Sebagaimana layaknya pesta bujang yang diadakan sebelum pernikahan suci.  Janji yang saya buat untuk diri sendiri, karena saya terlalu sering mengecewakan diri sendiri dengan menyerah terlalu dini. Pergi ke Nepal adalah momentum saya. Bahwa setelah Nepal, akan ada hal yang tidak lagi saya lakukan, setidaknya selama saya masih bernapas, memiliki tempat berteduh dan makan esok hari. Hal itu adalah : Bekerja untuk mencapai tujuan orang lain yang tidak masuk akal bagi saya.

Kenapa? 
Karena selama tiga tahun terakhir, saya belajar: 
Tidak peduli jalan hidup mana yang kamu pilih, 
Bekerja untuk orang lain, atau membuat usaha mu sendiri, 
Hidup tidak akan pernah mudah, 
Kesepian akan menghantui baik di kubik-kubik perkantoran penuh orang, 
atau di perjalanan penuh kesendirian menuju usaha idealis milikmu. 
Dan jika kehidupan memaksamu untuk memilih, 
Pilih yang membawamu sedikit, walaupun sedikit, lebih dekat pada tujuan hidupmu. 
Lakukan yang terbaik untuk tidak meninggalkan ruang bagi penyeselan, 
Karena waktu terlalu langka untuk dibuang, 
Dan uang, 
Ah, uang, hanya ego besar yang menghentikan datangnya uang.  


“The only real failure is abandoning your principles. Killing what you love because you can’t bear to part from it is selfish and stupid. If your reputation can’t absorb a few blows, it wasn’t worth anything in the first place.”   - Ryan Holiday


 PS: Dear people, don't wish me good luck. wish me sanity when I sink in dark, dark, dense river of reality. 

 

Komentar