Selamat
Malam, Dunia.
Malam
ini saya ingin menuliskan hal-hal dalam kepala saya, entah kenapa begitu banyak
suara dan saya tidak tau harus mulai dari mana. Saya punya banyak utang menulis
yang tertumpuk dari tahun kemarin. Saya ingin menulis tentang sosok petani kopi
di jawa timur, tentang menjadi pengusaha, tentang perjalanan saya yang akan
datang dan juga tulisan tentang cinta. Entah saya harus memulai dari mana.
---
Tiga
bulan terakhir waktu berjalan dengan cepat. Kata sebagian besar orang, ketika
waktu berjalan dengan cepat tanpa kita sadari, itu merupakan pertanda kita
sedang menikmati hidup kita. Katanya “Kalau
semua cepet berarti lo enjoy.” Itu kata sebagian besar orang belakangan ini
ketika saya mengeluh tentang betapa cepatnya waktu berlalu. Ini sudah bulan
Maret, seperempat tahun hampir berlalu.
Sudah
genap dua bulan sejak saya membuka kedai kopi di perbatasan Jakarta dan Depok.
Sudah dua bulan saya menjalani hari-hari di kedai kopi saya. Selama dua bulan
kedai saya buka, beberapa teman saya datang dan menanyakan bagaimana kelanjutan
hidup saya setelah memutuskan berhenti dari perusahaan besar dan ‘pindah’
haluan ke kedai kopi kecil di daerah industri pinggiran Jakarta. Ibarat sebuah
film yang belum selesai, mungkin teman-teman saya penasaran dengan ‘akhir’ film
saya. Satu hal yang pasti, selama empat bulan terakhir saya tidak pernah lagi
menunggu jam-jam berakhir. Saya tidak bisa mengatakan ini adalah akhir yang
bahagia. Terlalu dini bagi saya untuk mengatakan demikian. Bagi saya sendiri
konsep bahagia itu sendiri lama-lama menjadi kabur, kenapa orang terobsesi
dengan kata “bahagia”, seperti
bahagia itu adalah sebuah titik capai. Seperti semua orang berlomba-lomba
menjadi bahagia. Sedangkan bagi saya, bahagia adalah sesuatu yang personal dan
saya tidak perlu orang lain untuk menyatakan bahwa saya orang yang berbahagia.
Lagi pula, omong-omong soal akhir yang bahagia, pada akhirnya semua orang mati
bukan? Seperti kata seorang ekonom terkenal,
“In the long run, we are all dead.” – Adam Smith
Kembali
pada menikmati hidup. Menikmati hidup erat dengan kebahagian. Saya bisa
berasumsi bahwa orang yang menikmati hidupnya adalah orang yang berbahagia.
Apakah saya menikmati hidup saya sekarang? Bicara tentang menikmati hidup, saya
berpikir tentang bagaimana uang bisa sangat membantu saya menikmati hidup.
Dengan uang yang lebih banyak saya bisa makan di restaurant mahal dan saya bisa
melakukan hal yang paling saya nikmati dalam hidup: Scuba Diving! Dengan uang, saya bisa membeli tiket pesawat ke
beberapa tempat yang sudah sejak lama saya ingin kunjungi, seperti Flores atau
bahkan Nepal.
Salah
satu kru saya di kedai bertanya, “Ka, kalau misalnya lo dikasih kesempatan
pergi ke tempat manapun yang lo mau. Lo mau kemana?”
“Gw
mau ke Nepal, ke Pokhara. Gw mau nginep disana, terus kanoan di danaunya sambil
liat puncak gunung Himalaya.” Jawab saya saat itu tanpa ragu.
Dengan pendapatan
saya dulu, bukan perkara sulit untuk membeli tiket ke Nepal dan berlibur disana
setidaknya seminggu. Kenyataannya, selama empat bulan terakhir pendapatan saya
menurun drastis, saya tidak lagi digaji, kini saya harus berpikir untuk memutar
roda usaha saya sendiri. Tidak ada bos yang bisa disalahkan kalau usaha gagal
dan saya tidak bisa membayar sewa mendatang. Tidak ada yang bisa disalahkan
selain diri sendiri. Usaha saya baru saja merangkak, untuk berdiri saja belum bisa,
usianya baru menginjak dua bulan. Rasa-rasanya tidak bijak
menghamburkan-hamburkan tabungan dan pendapatan saya yang belum ada apa-apanya
ini untuk ‘menikmati hidup’
sebagaimana dulu.
Lalu,
apakah saya masih bisa dibilang menikmati hidup?
Saya
pernah menonton sebuah video di Youtube tentang seorang nenek yang mendapatkan
skor sempurna saat diukur tingkat kebahagiannya dibandingkan partisipan yang
lain. Saat ditanya apa yang membuatnya bahagia setiap hari, nenek itu hanya
tertawa lebar dan berkata “Setiap pagi, ketika bangun tidur lalu menyikat gigi,
saya bersyukur saya masih punya air dan pasta gigi yang penuh.”.
Jelas,
saya tidak pernah berpikir hingga ke pasta gigi di pagi hari, hal yang saya
syukuri setiap hari adalah saya bisa memilih. Memilih makanan pagi saya,
walaupun pilihannya antara mie instan goreng atau rebus sekalipun, saya masih
punya pilihan. Memilih pemandangan apa yang mau saya lihat saat berangkat ke
kedai. Memilih pakaian yang mau saya pakai. Memilih kopi yang ingin saya minum.
Memilih jam istirahat. Memilih buku yang mau saya baca. Banyak pilihan yang
saya buat setiap hari. Seperti, memilih untuk menulis tulisan kurang penting
ini hingga pagi dan tidak peduli besok saya bangun siang. Tidak bisa
dipungkiri, saya bisa memilih karena uang. Walaupun dibandingkan dulu, pilihan
saya jadi jauh lebih menyempit.
Namun
disisi lain, saya bisa memilih bagaimana saya menghabiskan waktu saya jauh
lebih banyak dibandingkan dulu. Uang dan waktu, entah bagaimana tidak pernah
bisa akur dalam hidup saya. Dulu saat saya punya uang lebih banyak, rasanya
waktu saya habis percuma, habis menunggu jam pulang kantor, habis tertidur di
dalam bus kota, habis menunggu timeline
social media saya berubah. Sekarang, saya bisa membaca dua buku dalam satu
minggu, bertemu dan berdiskusi dengan orang baru hampir setiap hari, membaca
kembali jurnal-jurnal penelitian, melatih anak-anak muda yang belajar kopi di
kedai saya, dan kembali menulis. Menikmati? Bagaimana saya tidak bisa menikmati
hidup saya sekarang? Setiap hari saya belajar hal baru, setiap kali tidur saya
puas dengan apa yang saya lakukan dengan waktu saya. Pertanyaannya adalah,
sampai kapan? Sampai kapan saya bisa menikmati hal ini? Hidup akan terus
berubah. Terkadang saya lelah berasumsi dan memikirkan kata ‘selanjutnya’.
Saya
mungkin bukan orang yang mementingkan segalanya harus mewah, seperti harus
punya mobil baru, dan rumah minimalis di
suatu cluster –dengan harga yang kurang
masuk akal. Saya hanya mengejar kebebasan waktu. Kebebasan untuk berada
disuatu tempat untuk melakukan sesuatu karena saya mau, bukan karena suatu
keharusan. Mungkin dulu saya terlalu mendalami buku Robert T Kiyosaki tentang
Kebebasan. Kebebasan memilih. Sepertinya makna “kebebasan” meracuni pikiran
saya sejak kecil.
Saya
pun tidak naïf untuk mengakui perlu uang untuk terus hidup. Kalau kata orang,
harus punya uang untuk mempertahankan gaya hidup. Gaya hidup saya yang sedikit
banyak melenceng dari sebagian besar orang. Saya memang tidak suka belanja
baju, sepatu, kosmetik yang pada umumnya disukai wanita, atau bahkan makan
secara rutin di restoran mahal di daerah prestis lalu mengunggahnya di social
media. Mungkin orang melihat saya pelit dan tidak mau bergaul karena sering
kali saya menolak diajak kumpul di restoran-restoran mahal. Saya hanya punya
prioritas lain dan itu bukan pertemanan yang dibeli dengan makanan mahal. Bagi
saya, menghabiskan setengah juta rupiah untuk menikmati 35 menit di dalam laut,
jauh lebih berharga dibandingkan makan direstoran mahal berjam-jam dengan
orang-orang yang sibuk dengan ponselnya sendiri. Lain ceritanya jika bicara
soal kopi, seratus ribu untuk secangkir kopi berkulitas bagus lebih baik
dibandingkan seratus ribu menu makan utama di restoran mahal yang saya tidak
paham rasanya. Sebagian besar gaji saya dulu, saya habiskan untuk sepeda, tiket
pesawat, scuba diving, peralatan kopi, dan buku-buku. Orang bilang,
“Hobi mah ga ada harganya.”
Hobi saya mungkin terlalu banyak, dan simply, saya terlalu aneh untuk ukuran orang Indonesia yang cenderung risk averse. Dalam hidup saya, saya mau membuat pilihan dengan mudah. Salah satunya tentang pengalaman. I always, always, always choose experience rather than material. Pengalaman yang membuat hidup saya berharga dan membentuk saya hingga menjadi diri saya sekarang, dan sejauh ini, saya tidak pernah menyesal selalu memilih pengalaman. Jika karena uang, saya tidak akan ada di balik bar dan membuatkan kopi bagi orang lain. Jika karena uang, saya tidak akan memilih membuka kedai kopi kecil di daerah antah berantah di pinggiran Jakarta.
Apakah saya sudah
mendapatkan apa yang saya mau dengan membangun kedai kopi?
Perjalanan saya
masih jauh, tetapi perlahan-lahan jalan itu mulai jelas. Hal-hal kecil yang
membuat saya yakin tentang jalan yang saya pilih (huh, lagi-lagi soal pilihan). Hal-hal yang dulu hanya ada di
kepala saya, kini mulai benar-benar menjadi kenyataan. Entahlah, pada akhirnya…
Jalan yang saya
pilih ini,
Mulai semakin sulit.
Walaupun demikian,
Saya ingat,
Sesuatu yang benar,
tidak pernah didapat dengan mudah.
Dan Setelah kesulitan,
pasti ada kemudahan.
Ya kan?
A
little touched by god:
Tulisan ini, dibuat tidak
teratur, sampai-sampai saya tidak mengerti apa yang saya tulis. Seperti
suara-suara di kepala saya yang sibuk meneriakan berbagai hal. Berbagai hal
lampau, sekarang, dan kerisauan saya tentang masa depan. Ingatan-ingatan acak
yang bermunculan di kepala saya. Ingatan tentang seseorang yang saya tunggu dan
saya tau tak akan pernah datang, atau seseorang lainnya yang saya harap tidak
pernah muncul kembali dalam hidup saya (mengingatnya
saja sudah buat saya menyesal!). Saya benci ketidakteraturan seperti ini.
Semua hal-hal tidak penting ini harus segera berhenti. Berhenti, Ya Tuhan.
Tulisan tidak teratur aja kaya gini coba. Gimana yang teratur :)
BalasHapusSukses selalu Uli buat mimpi-mimpinya, buat hobinya!kalo anak-anakku udah besar nanti pengen rasanya nunjujin.. itu loh nak tante uli :")
Ga sabar ketemu lagi sama kamu, insyaallah di waktu yang tepat :)
Aaah aku jadi malu di baca sama Ros >.<
Hapuskok bisa padahal ga di share. hahaha
makasih banget Ros udah baca blog ini, selalu ditunggu pertemuannya nanti. Semoga bisa cepat bertemmu.
haahha bisa karna ada yang nunjukin lii... slain bagus ambil foto kamu juga jago nulis... fix iri hihi. Tante Uli nya lagi jalan-jalan ya hehe.. :*
BalasHapus