2017: Melewati Hari dengan Kecepatan Cahaya, Sebuah Pembelajaran Diri


Selamat Datang di Tahun 2018!
(yah maafkan saya yang baru sadar saya sempat menulis ini dan lupa untuk mengunggahnya, hingga pertengahan 2018)
Saya bukan orang yang suka larut dalam selebrasi pergantian tahun, malah terkadang malam tahun baru terkesan penuh dan penat, lalu membuat saya ingin cepat-cepat sampai dirumah dan segera melepas penat dengan masuk ke bawah selimut.
Namun, biar bagaimanapun, saya ingin mengakhiri tahun 2017 dan mengawali tahun 2018 dengan menulis hal-hal yang cukup lama dan sering bertengger di kepala saya. Mengingat saya ini memiliki memori ikan, jadi sudah tentu beberapa hal ini merupakan hal yang amat-amat penting (karena saya berhasil ingat)!

2017 adalah tahun yang bagi saya seperti tahun yang berkecepatan jet. Setiap bulan yang saya lewati rasanya hampir-hampir tidak kentara. Rasanya baru beberapa bulan lalu saya memutuskan tinggal di Jayapura, dan kini, saya sudah kembali lagi tinggal di Ibu Kota. Karena tahun ini terlewati dengan kecepatan cahaya, saya dengan semangat menulis setidaknya tiga hal teratas yang saya pelajari dalam satu tahun. Bagi saya, setiap tahun selalu ada topik pembelajaran yang coba diberikan oleh kehidupan untuk kita resapi. 

Acceptance was hard in almost every circumstance.
Dari sekian banyak keuntungan menjadi anak muda, satu hal yang menurut saya tidak hadir begitu saja pada usia muda, yaitu: Penerimaan. Namun suka atau tidak suka, penerimaan adalah kunci dasar dari segala hal yang kita inginkan tentang menjadi bahagia. Setidaknya itu yang coba saya pelajari satu tahun terakhir. Berbicara tentang penerimaan, saya tidak sedang berbicara tentang penerimaan sosial, tetapi satu level penerimaan yang lebih sulit, yaitu penerimaan dari dalam diri sendiri. Disadari atau tidak, manusia mungkin lebih sering berperang melawan diri sendiri dibandingkan tekanan sosial, setidaknya itu yang terjadi pada saya.
Belajar menerima keadaan dan kekurangan diri sendiri seringkali berujung pada kekecewaan saya pada diri sendiri. Tentang ketidak mampuan diri melakukan hal yang berbeda pada permasalahan hidup yang sama. Namun, saya tau saya harus belajar. Jika ada hal yang mengganjal, maka saya akan coba berbagai hal untuk benar – benar mengerti. Bukan perkara mudah untuk menerima, rasanya seperti luka yang sedang menganga dan diirisi jeruk nipis.  Bagi saya, proses penerimaan ini sulit dan diiringi berbagai kekecewaan, karena disela-sela proses ini, Saya menyadari bahwa saya masih menjadi manusia yang itu-itu saja. Dan itu adalah sebuah kegagalan.

Some things are remain to be broken.
It’s not that you incapable fixing thing, it’s just not meant to be.

Dengan kepergian saya ke Jayapura, saya menyadari satu dan dua hal dalam keluarga saya. Salah satunya adalah menyadari bahwa tidak peduli semandiri apapun saya, sejauh apapun saya pergi, ketika kembali ke rumah saya tetaplah anak bungsu orang tua saya.  Di tahun ini, pertama kalinya saya sadar orang tua saya sudah bertambah keriput dan ubannya, dan saya menyadari betapa keras kepalanya saya. Saya menyadari ketika berhubungan dengan orang tua, adakalanya tidak berkata banyak dan mengiyakan malah akan membawa angin baik. Setidaknya itu yang terjadi pada orang tua saya.
Suatu waktu di bulan juli, saya memutuskan untuk tidak memberi  kabar ke rumah untuk alasan apapun, saya mencoba hidup sendirian. Memfokuskan segalanya pada pekerjaan. Saya menghubungi beberapa teman dan mencoba membenihkan proyek-proyek skala kecil. Juli adalah bulan yang mengecewakan bagi saya. Saya butuh pekerjaan untuk mengalihkan segalanya. Namun, suatu hari ayah saya menghubungi saya. Setelah 1,5 bulan lamanya. Ternyata orang tua saya sadar bahwa saya sudah begitu lama tidak memberi kabar ke rumah (biasanya saya menghubungi orang tua saya setiap akhir pekan), dan ada hal yang salah. Sebelumnya, setiap kali bertengkar dengan orang tua, saya selalu mengungkapkan segala rasionalitas saya hingga akhirnya saya mendengar apa yang ingin saya dengar. Tidak jarang pertengkaran ini berakhir dengan saya keluyuran tidak jelas entah kemana.  Namun, di tahun 2017, saya ingin melakukan hal berbeda, saya mencoba mendengarkan dan memberikan lebih banyak waktu untuk menyelesaikan masalah. Ada cara lain menyampaikan pendapat kepada orang tua, dan kita harus belajar menerima bahwa sering kali kita tidak berbicara pada frekuensi yang sama dengan orang tua kita. Berikan orang tua kita sedikit waktu untuk memahami apa yang kita inginkan dan satu hal yang saya pelajari di tahun ini adalah tidak perlu malu menarik ulang perkataan kita pada orang tua dan mengucapkan kata maaf. Lagipula, di tahun ini saya memperhatikan, terkadang orang tua mengucapkan kata maaf dengan berbagai tindakan. Seperti ibu saya yang tiba-tiba ikut mencarikan barang yang saya mau, atau ayah saya yang menunggu saya pulang malam lalu memasakan air panas untuk mandi.  

“in my family, all I need is time. Time heals everything.”
Keluarga menjadi sebuah pembelajaran besar bagi saya di tahun ini.  Tetapi, tentu saja ini bukan sebuah titik pemberhentian. Hubungan saya dan keluarga saya adalah satu hal yang sedari dulu selalu butuh usaha ekstra besar untuk tetap di jaga, tapi kemudian saya menyadari  dan menerima sebuah fakta: Saya butuh keluarga saya. Lalu saya, saya hanya manusia biasa saja di muka bumi ini yang masih butuh tempat pulang.
Sudahlah, tidak perlu menjadi orang yang begitu idealis dalam keluarga. Terkadang ada waktunya mengalah dan ada waktunya memperjuangkan. Pada akhirnya kita hanya harus melihat manfaat akhir dari hal yang kita lakukan.  
It’s all about balance.

Fall in love is awesome, but to let go is even better.
Patah hati dan ditinggalkan adalah hal yang melelahkan. Bukan karena lelah meingat berbagai kenangan manis, tetapi lelah menghadapi kenyataan bahwa suatu hari kita harus memulai segalanya lagi dari nol. Terutama saat kita merasa bahwa segalanya sudah sempurna. Bahwa ia adalah orang yang ditakdirkan oleh semesta untuk kita.
Jatuh cinta adalah perkara sulit. Sesering apapun saya menulis tentang cinta, ada satu titik di kepala saya yang mengatakan bahwa jatuh cinta adalah hal konyol yang tidak rasional. Jatuh cinta adalah reaksi kimia dan kebutuhan biologis. Hal yang tidak perlu. Karena seperti yang Budha katakan, “Happiness is Independence”. Tetapi biar bagaimanapun, jatuh cinta adalah penghasil hormon endorphine alias morphin alami yang sering kali saya butuhkan disaat dunia benar-benar membiarkan saya jatuh.
Tahun ini, saya bertemu dengan seseorang yang mengingatkan kembali apa itu jatuh cinta. Orang yang sederhana dengan pilihan hidupnya. Mungkin karena itu saya mengagguminya. Segalanya terasa lebih sederhana jika berbicara pada orang itu dan itu menyenangkan bagi saya yang isi kepalanya selalu rumit dengan berbagai hal yang tidak penting.
Kemudian saya menyadari satu hal, mencintainya berarti berhenti mencintai diri saya sendiri. Dia adalah hal paling pertama yang saya tinggalkan saat hidup saya mulai rumit. Saat saya butuh lebih banyak ruang untuk berpikir, ia adalah yang pertama kali saya keluarkan dari perencanaan hidup saya. Bersamanya memang menyenangkan, tetapi menyenangkan saja tidak cukup untuk melanjutkan. Saya menghabiskan terlalu banyak waktu untuk memahaminya, dan pada akhirnya, bersamanya tidak lagi menjadi hal yang saya tunggu-tunggu. Dan pada bulan September, di bulan seharusnya saya menyelesaikan segalanya dengan baik-baik, saya memutuskan untuk membiarkan saja ia lewat dan keluar dari hidup saya. Kali ini, saya menyadari, terkadang tanpa ucapan selamat tinggal segalanya lebih baik.
Saat ini saya butuh waktu untuk mencintai diri saya lebih daripada kapanpun. Saya ingin belajar menjadi pribadi yang egois. Ada begitu banyak hal yang ingin saya lakukan, dan tidak ada lagi tenaga dan waktu yang bisa saya salurkan untuk memperjuangkan orang lain. Saya butuh menyelematkan diri sendiri. 
 
I have to love myself!
Sometimes we think we know, yet we actually don’t.
Pekerjaan saya membawa saya pada pemahaman ini. Sering kali diberbagai hal, saya melihat kita membuat asumsi diatas asumsi. Hanya karena kita duduk di bangku sekolah lebih lama, kita merasa menjadi yang paling hebat dan tau seluk beluk hidup orang lain. Kita melupakan berbagai aspek psikologi, budaya, dan sosial. Membaca buku “The Art of Thinking Clearly” karya Rolf Dobelli membuat saya tertawa tebahak-bahak akan kebenaran yang disampaikan didalamnya. Terkadang kita memang harus mengakui bahwa, ya kita tak lebih dari manusia yang sok tahu dan terjebak dalam cognitive bias. Salah satu bias yang paling sering saya alami adalah conformity bias,  hanya mencari data-data dan jawaban yang mendukung hipotesa saya. Kita rentan terhadap bias kognitif. Setiap Saat, Setiap Waktu. Mark my word.
“Reality doesn’t look like it seems.”
Sebagai seorang yang menyandang titel ‘business consultant’ dan bekerja di program M4P terbesar di dunia (katanya siih yaaa begitu), saya seharusnya bisa berbangga hati dan percaya diri memberikan rekomendasi untuk menyelesaikan masalah partner business  yang bekerja dengan perusahaan saya. Dalam program ini, saya diajarkan metode untuk mencari akar permasalahan di dunia pertanian dan yang lebih penting, diajarkan untuk melobby  perusahaan swasta untuk berinvestasi di daerah terpencil. (how cool is that?) Namun hal yang menjadi lucu adalah hanya dalam beberapa hari dilapangan berkeliling dan mencari data primer, saya diekspektasikan untuk bisa membuat sebuah business model baru yang dapat menyelesaikan masalah semua pihak: bagi petani miskin dan bagi partner saya. Kenapa tidak? Untuk bisa tiba diposisi ini saya harus bersaing dengan ratusan pelamar lainnya, lulus dari universitas terbaik, memiliki IPK yang bagus,dan pengalaman yang mendukung. No way, you can’t do this! Yes, you can! Business Model ini yang menentukan investasi ratusan juta hingga milyaran yang akan dikeluarkan oleh Kantor dan Partner saya. Wow! Really, guys, I’m just 24 and I’m being honored.  *standing ovation.
Dulu sekali saya pernah melamar sebuah pekerjaan di salah satu firma konsultan terkenal dan ada satu pertanyaan interviewee yang saya ingat baik :
“How can you convince your client that your assumption is right?”
Pada akhirnya, karena segala pekerjaan yang bertitel konsultan itu dipenuhi jam kerja gila dan target yang lebih gila lagi, kita membangun asumsi diatas asumsi. Saya membuat sebuah hipotesa-hipotesa mini seperti : Jika X melakukan Y, maka X adalah A. Padahal ada pilihan A – Z, ada kemungkinan error yang tinggi, ada konteks prilaku ekonomi yang perlu ditelaah lebih dalam dan membutuhkan waktu. Nahh, tentu saja, konsultan tidak pernah punya cukup waktu! Jadi, segala asumsi yang saya bangun harus bisa nampak seperti realita dan didukung dengan data-data sekunder yang dipertanyakan keabsahannya (dan kebersihannya dari kepentingan politis). Banyak sekali hal, tentang papua – terutama, yang tidak terlihat sebagaimana mestinya. Tujuan saya datang untuk meningkatkan pendapatan petani miskin, but well, do they care being poor? Probably, they don’t.
Di hari terakhir saya di Papua, saya mencoba membuat sebuah simpulan. Dari begitu banyak rancangan program, saya rasa, most of the time, saya hanya berpikir bahwa saya tau tentang realita.  Lagipula, apa sih realita itu?  Teori kita tentang waktu yang berjalan linear pun ternyata salah dan dibuktikan oleh Albert Einstein bahwa Time is Bend, and it shaped like a bell.  Nah loh . Berbagai asumsi saya tentang orang Papua banyak yang salah, dan mungkin, untuk siapapun yang ingin pergi ke papua untuk membantu umat manusia disana, saya sarankan untuk terlebih dahulu membaca buku “The World Before Yesterday.” Karangan Jared Diamond. Agar kita tidak menjadi manusia-manusia yang sok tahu.  Yah, walaupun pada akhirnya kita akan bergerak sebagaimana yang diminta oleh organisasi tempat kita bekerja, oleh institusi yang mendanai, oleh para donor yang berbuat kebaikan untuk umat manusia: Hallelujah!
Dan mungkin untuk menyimpulkan, saya (yang sebenarnya tidak tau apa-apa ini) akhirnya belajar dari pekerjaan saya : Tidak penting realitanya seperti apa, yang terpenting adalah meyakinkan orang lain bahwa itu adalah realita yang mereka butuhkan. Walaupun 101% saya akan yakin realita yang sebenarnya akan mengejar kita mati-matian.

“Everyone is a puzzle, when you got the missing piece, they will give you everything.” – Red Sparrow (2017)
What’s next?
Saya mencintai dunia pertanian, saya merasa bahagia berkeliling kebun dan mengetahui bagaimana alam bekerja. Saat saya di Nepal, seorang teman saya mengatakan pada saya tentang suatu kemungkinan. Kemungkinan tentang suatu pekerjaan yang bisa saya lakukan dan saya suka di masa yang akan datang.  Tahun 2017 banyak mengajarkan hal yang saya tidak sukai dan juga hal yang saya sukai. Dan jika, kesempatan itu datang,  saya ingin mengambil kesempatan dimana saya bisa melakukan hal yang saya sukai. 
Saya senang berpikir bahwa esok atau lusa saya akan segera mati, hal ini membuat saya mengambil keputusan berdasarkan hal-hal yang menurut saya menyenangkan. Jangka panjang? Jika melihat tiga tahun terakhir, saat saya baru lulus kuliah, saya tidak menyangka saya akan berada pada titik ini, segala rencana saya tentang masa depan saat itu bisa dibilang gagal – And I don’t mind, karena sejauh ini saya lebih banyak melakukan hal-hal yang saya suka (dan cukup beruntung untuk bisa berhenti melakukan hal yang saya tidak suka), saya belajar dan merasa tidak membuang-buang waktu. Saya ingin hidup di masa sekarang, karena masa depan belum tentu menjadi milik saya. Jadi, bagaimana dengan Jangka Panjang? Ya, ya, saya masih ingin punya rumah, mobil, hidup nyaman dan berkeluarga, tetapi saya akan biarkan hidup saya bergantung pada apa yang bisa saya lakukan sehari-hari: hal-hal yang bisa saya kendalikan, dibandingkan membuat sebuah perencanaan besar tentang masa depan. (memangnya saya Tuhan?)
Oh, sedikit menambahkan, saya gagal untuk melanjutkan studi S2 saya karena suatu kendala teknis. Wageningen University, institusi impian saya sudah menerima saya untuk berkuliah disana (namun segala rencana saya untuk memastikan saya pergi ke Belanda tahun ini pun gagal, my grande plan is failing apart!)… but life must go on! And I think, Wageningan can wait. J 
So, tulisan ini cukup terlambat untuk menceritakan bagaimana resolusi saya di 2018, pada intinya hanya satu hal: saya akan terus bergerak ke arah dimana saya bisa terus belajar, belajar tentang hal-hal yang menyenangkan, dan dibutuhkan dunia untuk menjadi tempat yang lebih baik. Saya akan berhenti menulis disini, sebelum saya menjadi orang utopis yang tidak rasional!
Adios!   

Komentar