Kisah kali ini berawal dari kegiatan saya dikantor, kurang lebih setelah 1,5
bulan bekerja, bahkan lebih tepatnya setengah bulan (karena 1 bulan pertama
saya hanya training dalam kelas), saya merasa kosong. Awalnya saya menyewa
sebuah kamar kos.an di daerah Tebet, lalu setiap malam saya merasa sepi dikamar
yang harganya selangit itu. Rasa-rasanya kok hidup saya hanya untuk bekerja.
Saya sering terpikir, seandainya hari ini keluarga saya meninggal atau saya
meninggal, saya sudah kehilangan beberapa hari bersama mereka. Yeah,
sometimes I become a family person, or perhaps, always.Akhirnya saya hanya
1 bulan kos, dan keluar tepat saat malam Tahun Baru. "Baiklah saya akan
berjuang pulang-pergi ke kantor dengan sepeda motor. Deket kok Taman Mini -
Sudirman." ucap saya dalam hati. lalu dua minggu kemudian... "Enough
is enough. gw bisa mati muda kalo tiap hari menghadapi kemacetan ibu
Kota serta pengendara motor yang sudah setengah sinting."
Rasanya penat, I dont hate my job, I just hate going to work.
![]() |
Dari Balik Jendela |
Akhirnya karena satu dan lain hal, teman saya tidak jadi pergi ikut. Karena
saya malas menerima penolakan dari orang-orang yang hampir selalu menolak
ajakan saya tetapi maunya diajak ikut jalan-jalan, saya memutuskan pergi
sendiri. Lagipula, saya sedang butuh sendiri. Saya sudah penat dengan keramaian
Ibu Kota. I hate Jakarta, I just hate it so bad.
Hari Sabtu, Pk. 05.00
Saya sudah bersiap untuk berangkat ke Stasiun Paledang di dekat
Stasiun Bogor, letaknya dibelakang KFC. Saya berangkat dari daerah Sentul, jadi
tidak cukup jauh sampai disana. Setibanya saya disana, saya melihat sudah
banyak orang-orang yang akan pergi bersama saya di dalam kereta, kebanyakan
dari mereka hanya sampai di Sukabumi, sedangkan saya masih harus lanjut ke
Lampegan. Lagi-lagi saya sendirian dalam perjalanan ini, saya pikir saya tidak
akan pernah lagi jalan-jalan sendirian karena saya sudah bosan sendirian.
Baiklah, lagipula menganut prinsip saya, bahwa di perjalanan kita tidak akan
pernah sendiri, teman hanya perlu ditemukan. that's it.
Di Kereta...
Di dalam kereta saya bertemu dengan banyak orang, sebagian bisa saya ajak
ngobrol, sebagian lagi hanya saya amati dari jauh. Ada sekelompok laki-laki
metropolis yang sedang menuju Sukabumi untuk rafting, dan sibuk
foto-foto di gerbong belakang kereta, mereka sibuk selfie dan mengedit
foto. Luar biasa. Kebutuhan untuk diakui oleh orang lain dari sosial media
bahkan sudah mencapai generasi yang jauh diatas saya, dan inilah salah satu
penyebab orang rela untuk melakukan kegiatan di luar zona nyaman untuk sekedar
di berikan "Hati" dan "Like".
Ketika saya sedang mengobrol oleh para lelaki metropolis ini, seorang
petugas keamanan datang menghanmpiri saya, lalu menanyakan saya apakah saya
wartawan, karena saya membawa kamera DSLR dan menggunakan Polo Shirt dengan
label Kompas. Saya hanya bilang "Bapak orang ke-100 hari ini yang bilang
saya wartawan pak, saya mah kerja dikantor biasa aja pak. ini lagi
jalan-jalan."
Bapak ini bernama Pak Wiwid, yang ternyata adalah satu anggota TNI yang
ditugaskan mengawal kereta. Pak Wid bahkan mengenalkan saya pada sekolompok
wanita seumuran saya yang bertujuan sama di gerbong depan, "Biar pergi
sama-sama" katanya. Saya akan bercerita tentang Pak Wid lebih jauh tetapi
saya akan bercerita diakhir saja tentang beliau, karena saya merasa beruntung
bertemu beliau di kereta.
Stasiun Lampegan
Sesaat sebelum tiba di Stasiun Lampegan,teman baru , saya yaitu sekolompok
wanita yang dikenalkan oleh Pak Wid, memberitahukan saya bahwa ada sebuah air
terjun yang bentuknya mirip seperti Niagara tetapi arahnya bertolak belakang
dengan arah ke situs. Perkiraan untuk kesana butuh naik ojek dengan harga yang
sama ke arah situs, jadi saya harus membayar 2x lipat dari yang saya awalnya
perkirakan. Waktu sudah menunjukan Pukul 11.00 saya ragu apakah saya bisa ke
air terjun dan tiba tepat waktu di stasiun Lampegan untuk menyambut kereta
pulang. Ketika saya turun dari kereta, saya melihat banyak tukang ojek yang
sudah stand-by di depan pintu kereta
sambil berteriak “Gunung Padang mbak?” Sambil berjalan ke arah pintu keluar
stasiun seorang tukang ojek mendekati saya dan menawarkan jasa angkutnya ke
gunung padang. Tawar menawar harga berakhir pada harga Rp. 120.000, “Gini ya
Mang, mang bawa saya ke air terjun dulu terus ke situs, saya pokoknya harus
tiba lagi di stasiun Lampegan jam 14.00. Bisa ga?” karena si Ojek menyanggupi
akhirnya dimulai lah saya mengelilingi daerah cianjur dengan Ojek. Sekolompok
wanita yang bareng dengan saya sebelumnya di Kereta masih sibuk menawar harga
dengan si Ojek, karena menurut saya ke Situs Padang perlu Rp. 60.000 untuk
pulang pergi, dan ke air terjun jaraknya lebih jauh, saya rasa Rp. 120.000
adalah harga terbaik yang bisa saya dapatkan.
Perjalanan Menuju Curug Cikondang
Perjalanan saya menuju curug Cikondang ditempuh dalam waktu kurang lebih 45
menit. Sepanjang perjalanan yang naik turun dan sebagiannya dipenuhi dengan
aspal bolong-bolong, saya teringat perjalanan saya ke sebuah candi yang
terletak jauh diatas lereng di Gunung Lawu, yaitu Candi Cetho. Perjalanan ini
benar-benar mengingatkan saya perjalanan saya seorang diri di Solo kala itu.
Sendiri, bersama tukang Ojek, dan melewati kelok-kelok bukit teh. Obot adalah
nama tukang ojek yang membawa saya berkeliling daerah Cianjur hari itu. Obot
bercerita bahwa di daerah situ tidak hanya ada kebun teh, tetapi banyak
pertambangan emas illegal. Saya bertanya pada dia apa yang dia lakukan disaat
tidak mengojek, ternyata dia lulusan SMK dan bekerja sebagai mekanis di
perusahaan teh yang ada disitu. Gajinya tidak seberapa, jauh lebih rendah dari
yang ditetapkan UMR, pernah suatu ketika para pekerja berdemo untuk
meningkatkan upah mereka, tetapi perusahaan mengatakan “Kami bisa menaikan gaji
kalian hingga UMR, tetapi perusahaan hanya akan bertahan 2 bulan dan setelah
itu gulung tikar.” . Dan sejak itu tidak pernah lagi ada demo menurut Obot. Selama
3 tahun terakhir, dia bersyukur bahwa Gunung Padang membawa turis lebih banyak
ke daerah situ, sehingga orang-orang seperti dia bisa mendapatkan pendapatan
lebih banyak diluar bekerja sebagai buruh pabrik teh.
Setelah melewati jalan aspal dan bahkan jalan tanah diantara kebun teh, saya
tiba juga di Curug Cikondang. Biasanya untuk pergi kecurug kita harus mendaki
tetapi kali ini justru dari pinggir jalan saya sudah bisa melihat besarnya
Curug Cikondang dan saya harus berjalan kaki kurang lebih 10 menit kebawah
untuk tiba dibawah curug Cikondang. Untuk masuk ke tempat wisata ini kita harus
membayar tiket masuk sebesar Rp. 5000. Setibanya saya dibawah curug Cikondang
hanya ada saya dan beberapa orang. Katanya jika berenang di curug ini, kita
bisa gatal-gatal karena mengandung merkuri, yaitu zat kimia untuk pengolahan
emas. Karena persis diatas curug ini terdapat pengolahan emas tradisional,
namun kata Obot hari itu bisa saja berenang karena pengolahan emas diatas curug
sedang tidak beroperasional.
Curug Cikondang
![]() |
Curug Cikondang |
Curug ini memang indah dan sepertinya tidak banyak diketahui oleh banyak
orang. Ini hanya perkara waktu hingga curug ini ramai oleh turis, rusak, dan
kotor. Entah kenapa saya sedikit bersyukur bahwa ada pengelolaan emas diatas
Curug ini, yang bisa membuat sedikit banyak orang mengurungkan diri untuk
datang ke Curug ini karena tidak bisa direnangi. Curug ini melebar dan cukup tinggi, sehingga
bagi saya curug ini cukup menyejukan mata. Apalagi ketika saya datang, tidak
begitu banyak orang disana. Diatas curug saya melihat ada turbin kecil
pembangkit listrik entah untuk apa. Saya bertanya-tanya apakah warga didaerah
situ berinisiatif untuk membangun turbin listrik untuk memenuhi kebutuhan
listrik mereka sehari-hari. Luar biasa jika masyarakat disitu sudah mulai
berpikir untuk memberdayakan energy yang ada, karena aliran air di curug ini
cukup deras.
![]() |
Saya dan Sekolompok Wanita Dari IPB |
Situs Gunung Padang.
Waktu sudah menunjukan pukul 12.30 siang , sepanjang perjalanan kembali ke
Gunung Padang saya banyak mengobrol dengan Obot menanyakan bagaimana kehidupan
orang-orang didaerah situ. Ada mitos yang menyatakan bahwa saat lubang untuk
menanmbang emas sudah menelan korban maka hari berikutnya lubang itu akan
banyak dipenuhi oleh emas. Obot mengatakan sudah banyak orang yang meninggal
dalam lubang pertambangan, karena memang pertambangan yang dilakukan oleh
orang-orang didaerah itu dilakukan dengan tradisional tanpa adanya safety procedure tertentu. Banyak orang
yang pergi menambang lalu tidak kembali karena terkubur hidup-hidup di dalam
lubang galian. Karena masalah uang dan keamanan, tidak ada aksi dari pihak
manapun untuk menggali kembali untuk menarik jasad-jasad yang terkubur itu
hingga bertahun-tahun berikutnya. Obot mengatakan bahwa hingga sekarang ia
tidak pernah berpikir untuk kembali menjadi penambang emas, karena pada
akhirnya seringkali ia dirugikan oleh Bandar dan nyawa yang digadaikan jauh
lebih besar dari nilai yang bisa ia dapat. Saya juga iseng apakah saya bisa
beli teh dari perkebunan teh disitu. Obot bilang didaerah itu ada teh putih
yang sangat terkenal dan impor ke eropa, seorang penumpang Obot sebelumnya
menyatakan bahwa di eropa teh tersebut bisa dijual dengan harga jutaan rupiah
percangkir, sedang kan di Indonesia teh tersebut dijual dengan harga 1 juta
rupiah per kg.
Setibanya saya di Situs Gunung Padang, saya melihat bahwa daerah ini sudah
resmi menjadi daerah wisata. Sudah banyak warung-warung yang menjual
pernak-pernik dan tempat parkir kendaraan yang sudah penuh. Setelah membayar
tiket masuk saya menapaki tangga-tangga yang terjal untuk mencapai situs
tersebut. Situs Gunung Padanng terletak diatas bukit dan banyak peninggalan
batu-batu dari zaman Megalitikum. Obot bilang situs ini jauh lebih bagus
sebelum di susun ulang, karena masih banyak batu-batu berserakan yang terkesan
lebih alami. Bagi saya bukan batu-batu yang ingin saya lihat, begitu saya tiba
diatas bukit saya langsung terpikirkan untuk kembali lagi ke situs itu pada malam
hari. Karena bukit itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya
dan saya bisa melihat langit 360 derajat. Dari yang saya curi dengar dari
seorang guide, tempat itu memang digunakan untuk melihat bulan dan bintang pada
masa dahulu kala.
![]() |
Situs Gunung Padang |
Setibanya saya di Lampegan, saya baru
tahu saat saya disitus Gunung Padang bahwa Stasiun Lampegan itu cukup
bersejarah karena merupakan salah satu terowongan tertua yang dibangun dari
jaman belanda di Indonesia. Saya beruntung karena ketika saya meminta foto
dengan salah seorang laki-laki yang juga sepertinya turis, ternyata orang itu
adalah penulis sebuah majalah dan pernah meneliti daerah itu sebelumnya.
Dia bilang bahwa ada mitos diterowongan itu mengenai seorang penari ronggeng terkenal
yang dikubur hidup-hidup di dalam terowongan itu setelah peresmian terowongan
itu oleh Belanda. Mitos itu masih hidup hingga sekarang, karenakatanya ada
orang yang pernah melihat wanita berkebaya merah diterowongan itu malam hari.
Entah cerita itu benar atau tidak. Dan yang jelas kata Hendy Jo,
penulis yang saya mintai tolong, didaerah situ juga terdapat kuburan pejabat belanda.
![]() |
Terowongan Lampegan (1879-1882) |
Perjalanan Pulang.
Perjalanan pulang saya ditutup dengan pertemuan kembali dengan Pak Wid. Kami
berbincang-bincang saat kereta mulai melaju menuju sukabumi. Dari Lampegan
kereta masih lengang dan saya membuka bekal makan siang saya untuk saya makan
sambil berbincang dengan Pak Wid. Dari cerita Pak Wid saya tahu dia sudah lama
mengabdi untuk Indonesia, saat dipindah tugaskan ke kereta api, dia menyatakan
begitu tugasnya usai di KAI dia tetap ingin mengabdi pada angkatan darat.
Walaupun sebelumnya ia ditawari untuk menjadi petugas tetap KAI dan keluar dari
Angkatan, ia tetap mau bersama TNI. Kami juga berbincang tentang jalan-jalan,
dia penasaran saya sudah pernah pergi kemana saja, saya katakana saya sudah
pernah ke aceh dan juga papua, tetapi saya masih ingin berjalan lebih jauh.
Kata Pak Wid hanya orang kaya yang bisa jalan-jalan, saya bilang tidak selalu
begitu, karena sering kalisaya jalan tanpa mengeluarkan biaya banyak. Pak Wid
juga bercerita dia sudah pernah ditempatkan di seluruh kereta KAI yang ada di
Pulau Jawa, pernah bertugas di Wamena dan juga dikirim ke kongo.
Perjalanan kali ini saya menemukan banyak orang yang mungkin saya tidak
pernah temui lagi. Salah satu yang menyenangkan dari solo-traveling adalah
disaat ketika saya bisa bertemu dan mengobrol dengan banyak orang. Ketika
berjalan dalam rombongan seringkali kita mungkin merasa eksklusif dan tidak
peka terhadap pejalan lain. Perjalanan saya hari ini memang tidak begitu jauh,
tetapi rasanya cukup menghibur hati saya yang sudah mulai tergerus dengan
hiruk-pikuk ibu kota. Lingkungan baru ditempat kerja yang mengharuskan saya
untuk mencari teman dan beradaptasi.
A little touched by god: Dalam
perjalanan ini saya bertanya-tanya berapa gaji orang-orang yang saya temui
sepanjang jalan, seperti Pak Wid dan Obot. Orang-orang yang memiliki tanggungan
lebih banyak dari saya dan berpenghasilan lebih renda dari saya. Saya merasa
malu ketika saya merasa saya tidak puas dengan penghasilan yang saya dapat.
Komentar
Posting Komentar