![]() |
Sepatu Berusia 4 Tahun |
“eh dy naik gunung yuk. Gw liat-liat lo seneng naik gunung
nih.”
Dan setelah itu pembicaraan kami berlanjut pada kesibukan
kami masing-masing mengenai Tugas Akhir, saya yang masih belum lulus dan harus
sidang ulang namun tanggal sidang ulang saya yang tidak kunjung keluar dan Ardy
yang masih mengurus dosen pembimbing dan entah apa lagi. Yang jelas sekitar
seminggu kemudian, Ardy mengiyakan ajakan saya naik gunung, dan hasil diskusi
kami menghasilkan “Gunung Semeru”. Pertanyaan berikutnya adalah “Who’s gonna in
our team?”, saya tidak kenal teman-temannya dan saya juga tidak mengajak
teman-teman saya yang masih sibuk dengan urusan skripsi dan menjelang UAS.
Lebih tepatnya, saya ingin suasana baru. Leaving
all thing behind me. Dan... setelah gunung Kelud meletus, hampir semua
gunung di Jawa Timur menjadi Aktif. Kawah Ijen ditutup, dan semeru masuk dalam
katagori waspada. Lalu dikarenakan skripsi, teman saya itu mendadak tidak bisa
mengosongkan jadwalnya selama seminggu untuk naik gunung. Dan akhirnya...
“Yaudah kalo mau naik gunung, merbabu aja li. Nanti gw
temenin deh kalo merbabu. Kan bisa weekend
tuh.” Kata teman saya akhirnya. Akhirnya saya menunggu hari senin untuk
menanyakan kepastian jadwal sidang saya yang ternyata tidak mungkin minggu itu,
dan senin sore itu juga saya membalas chat teman saya “Dy, kalo minggu ini lo
bisa ga? Gw beli tiket ke jogja buat kamis nih, kalo lo bisa.” . Dan akhirnya,
sore itu juga saya membeli tiket kereta ke Jogja untuk Kamis itu.
Beberapa hari kemudian saya sudah berada diatas kereta
menuju Jogjakarta, sendiri. Saya membawa carrier
saya dan sebuah tas kecil berisikan buku dan berbagai peralatan kecil
lainnya. Perjalanan ini bukannlah perjalanan yang saya mulai dengan suasana
bahagia. Saya penat dan lelah dengan segala urusan yang berhubungan dengan
tugas akhir saya. Seseorang disana yang seharusnya ada pada masa-masa tersulit malah tidak bisa di harapkan pada waktu
itu. “At that time, I was just stare out
of train window, thinking if I were dead, would somebody cry over me? Miss me? Or
even feel regret for not having chance to say goodbye to me?” Pada malam
itu di kereta saya membaca buku tentang bagaimana seorang kaya raya yang
kesepian dan pada akhirnya menemukan kebahagian bukan dari harta yang
dimilikinya, tetapi dari kekayaan batin yang ditempa melalui latihan yang
berat. Sebuah cerita fiksi yang berangkat dari kisah kehidupan sehari-hari.
Buku itu berhasil membuat saya berpikir sepanjang perjalanan ini, kadang orang
sering bilang membicarakan kematian adalah hal tabu yang harus dikubur
dalam-dalam, seakan-akan Tuhan akan merubah takdir hanya karena kita berbicara
perkara kematian. Namun dari apa yang saya baca di buku itu di atas sebuah
kereta, mengajarkan saya untuk memulai hari dengan mengingat kematian, “What would you do if today is your last
day?” tanyakan itu setiap hari, setiap kali memulai hari, dan susunlah
kegiatan berdasarkan jawaban atas pertanyaan itu. Dan beberapa bulan setelah
perjalanan ini pun, saya masih sering kali menanyakan hal itu, membuat saya
sedikit menahan lidah dan belajar bersabar walaupun... well.. hanya sedikit.
![]() | |
Buku Yang Saya Bawa |
Kembali ke perjalanan saya ke merbabu. Saya bukan seorang
pendaki gunung. Jelas, saya mulai benci mendaki gunung. Saya benci lelah
berjam-jam berjalan membawa barang berat hanya untuk dihinggapi rasa dingin dan
hanya melihat segumpal awan. Namun teman saya menjajikan bahwa paling lambat
dalam waktu 5-6 jam kita sudah bisa sampai di tempat camp. Bagi saya itu cukup menyenangkan jika dibandingkan mendaki
Gunung Pangrango terakhir kali yang memakan waktu 12 jam. Saya memulai
pendakian di Hari jumat dengan teman saya, semoga hari yang baik untuk mendaki.
Kami menggunakan sepeda motor (dengan dua carrier
ukuran 50L) dari Klaten – Selo. Setelah ditambah air dan pembagian beban
bawaan, saya bilang kepada teman saya yang untungnya rajin olahraga itu,”Dy,
gila ini carrier gw berat banget. Air bawa sampe 4 Liter lebih ini. Gila gw ga
pernah seberat ini bawa barang kalo naik gunung. Kuat ga ya gw naik?”
Teman saya hanya menjawab, “wah Carrier gw udah ga muat lagi
li. Udah masih beratan gw inii. Sanggup-sanggup. Hahaha.”
Pendakian
Kami pun memulai pendakian setelah sebelumnya melapor pada
pos base camp dan polsek di Selo. Pukul 11.00 WIB kami mulai mendaki naik,
pemandangan khas pohon-pohon tinggi pada jalur awal pendakian mulai mengiringi
perjalanan kami. Kami bukan pendaki kelas berat yang bisa tahan jalan hingga
setengah jam tanpa istirahat mengambil napas. Terbukti hanya dalam beberapa
langkah kami diam mengambil napas panjang, mengatur helaan napas dan mulai
mendaki perlahan. Awalnya kami berharap kami sudah mendaki pukul 08.00 WIB,
sedikit cemas kami tidak sampai di Sabana 1 sebelum gelap. Selain itu saya juga
cemas karena saya hanya berdua dengan teman saya, hal yang saya langgar dari
peraturan pendakian yang saya buat sendiri. Saya cemas tidak bertemu pendaki
lain karena itu hari Jumat dan bukan hari Sabtu-Minggu saat banyak pendaki. Saya
dan teman saya ini entah kenapa adalah pendaki dengan ‘jenis’ yang sama, yaitu
pendaki happy-happy. Kami berdua
sama-sama tidak mau dijalan saat malam, sama-sama cemas jika hanya ada kita
berdua di camp nanti, dan pada intinya kita ini sejenis penikmat alam yang
hanya ingin memperkaya foto-foto dalam laptop
dan menghilangkan kebosanan kota.
Namun dalam waktu 1,5 jam kami sudah sampai di Pos 2
Bayangan, dan setengah jam berikutnya sudah sampai di Pos II. Setelah Pos II,
hutan dengan pohon tinggi mulai berganti dengan bukit-bukit sabana. Saya dan
teman saya berteduh di bawah pohon kecil, mencopot beban bawaan kami, dan
meluruskan kaki saya. Saat itu hari terik tetapi berawan dan lagi-lagi saya
cemas jika hujan. Saya lupa apa yang saya bicarakan dengan teman saya itu di
alun-alun, yang jelas dia memberitahu saya bahwa kita cukup cepat dibandingkan
terakhir kali dia ke merbabu, dan karena hari masih siang lalu Sabana I sudah
terlihat kita tidak perlu takut masih berada di jalan saat gelap.
Baik, saya ingin menggambarkan momen ini sebagai momen yang
sangat romantis andai saja teman saya itu pacar saya haha!. Kami hanya berdua,
hari cerah, gumpalan awan putih dan langit biru, padang bunga edelweis, dan
sedikit hembusan angin gunung yang sejuk ditengah hari terik. Saya lupa apa
yang saya bicarakan dengan teman saya saat itu, yang jelas saya ingat saya
tertawa lepas untuk pertama kali setelah sidang saya yang gagal. Seakan-akan
hanya ada dunia yang saya lihat kala itu di alun-alun merbabu.
![]() | |
Gunung Merapi |
kebelakang dengan beban carrier yang
saya bawa. Selain itu, saya tidak pernah menghadapi jalur seperti ini di Gunung
Jawa Barat yang pernah saya daki. Selalu ada pohon di puncak gunung, bukan
hanya rumput dan pasir. Setiap kali saya menengok kebelakang, kaki saya sedikit
lemas dan saya mengutuk diri sendiri dalam hati, “What the hell am I doing
right now?” ini adalah momen yang selalu muncul saat saya mendaki gunung, dan
entah kenapa saya selalu kembali mendaki gunung. Seperti seorang laki-laki yang
pada akhirnya berhasil membujuk kekasihnya untuk rujuk kembali setelah putus berkali-kali
–Oke ini agak lebay, Saya masih ingat saat dijalur curam itu saya
membukukan tubuh saya sangat dalam dan beberapa kali berteriak entah itu untuk
memanggil teman saya atau hanya karena saya tergelincir. Yang jelas setelah
tiba diatas saya merasa bersyukur saya bisa selamat sampai diatas sebelum
Sabana I dan pemandangan spektakular menyambut saya. Gunung Merapi dan awan
putih menggulung yang bergerak disekitarnya. Kami berdua duduk (lagi) di bawah
bayangan pohon beberapa langkah sebelum Sabana I dan mengambil beberapa foto,
menikmati dengan mata Gunung yang sangat jelas terpampang di mata saya. Setelah
hampir setengah jam kami duduk-duduk memandangi Gn. Merapi. Kami naik beberapa
langkah ke tempat camp.
![]() |
Tenda SuperLight Consina saya, Edisi Perdana :D |
bawa carrier setengah jam Cuma
buat ngehemat waktu 15 menit.”. Beberapa saat kami tiba di Sabana I, group
pendaki itu pun turun dan hanya tinggal kami berdua di Sabana I. Setelah
membangun tenda, kami sholat saat cuaca mulai teduh, dan sore hari menjelang.
Sudah lama rasanya saya ingin mengalami sholat di tengah alam yang indah dengan
matahari dan cuaca yang bersahabat. Andai saja momen ini diabadikan, bisa jadi
video adzan magrib edisi tafakur alam di Tv!
Dan sore itu kami habiskan dengan berfoto-foto ria disegala
spot yang menurut kami bisa dijadikan tempat foto, dari mulai foto dengan pose
bener sampe ga bener ada deh pokoknya hahaha. Sayang saya harus izin teman saya
dulu kalau mau posting foto-foto narsis dia yang luar biasa di blog ini hahaha.
Malam Hari
Baiklah, kami sudah punya rencana sangat matang untuk
perjalanan kami, mengingat kami hanya berdua. Kami senang kami sudah tiba di camp pada pukul 14.30 WIB yang artinya
beberapa jam dari perkiraan kami, dan kami sudah memperkirakan untuk tidur pada
pukul 21.00 setelah makan malam, lalu bangun pukul 03.30 keesokan harinya,
memasak makanan pagi, dan summit attack pukul
04.00. Kami sudah membayangkan, kami
akan tidur nyenyak dan cukup tidur untuk energi esok hari.
Pada kenyataannya..
Pada saat kami memasak makan malam kami, awan gelap dan
petir menyambar-menyambar dibalik gunung merbabu dan terlihat jelas dari tenda
kami. Kami kembali cemas jika tiba-tiba saat kami tidur akan ada badai, dan
saya sudah bersiap-siap dengan melirik tenda sebelah (yang keliatannya lebih
aman) jika tiba-tiba badai. Lalu saat kami mulai tidur pukul 21.00, saya tidak
bisa tidur karena ujung jari kaki saya dingin luar biasa dan terus dingin
hingga pukul 23.00 saya memutuskan untuk keluar lalu mengobrol dengan pendaki
lain. Setelah saya masuk tenda lagi, saya pikir teman saya sudah tertidur
nyenyak tetapi ternyata dia juga tidur-bangun seperti saya, bahkan ketika
pendaki lain mulai berdatangan kami masih belum tidur nyenyak. Saya tidak tahu
suhu berapa pada malam itu, yang jelas saya sudah melapis kaki saya dengan 4
lapis bahan dengan bahan berbeda namun kaki saya tetap dingin (next time teman
saya bilang: “Coba li, pake alumunium foil. Dibungkus.” Oke. Ingatkan saya
untuk bawa alumunium foil lain kali saya naik gunung.”). Saat pukul 02.00 teman
saya bangun dengan sedikit menggigil dan menanyakan jam pada saya untuk kedua
kalinya, “li, sekarang udah jam berapa?”. Saya jawab, “baru jam 2 dy.” Teman saya,
“Ya ampun lama banget sih paginya.”. Bahkan saya sudah berencana minum2 butir
antimo agar saya tidur nyenyak, namun setelah dipikir risiko hipotermia
akhirnya saya mengurungkan ide bodoh itu. Yang jelas rencana kami tidur nyenyak
bak sleeping beauty gagal total.
Summit Attack
Hore! Ini adalah
pertama kalinya saya summit attack untuk
melihat sunrise. Lampu-lampu headlamp
mulai berpendar jalur menanjak yang terlihat dari Sabana I. Jutaan bintang bertaburan diatas kepala kami. Untung
saja malam itu ramai, banyak pendaki yang baru tiba pada dini hari dan langsung
melakukan summit attack (jenis
pendaki ambisius tenaga kulih nih! Hahaha #noOffense). Ada dua tanjakan terjal
dan panjang dan satu tanjakan pendek untuk sampai di Puncak tertinggi Gunung
Merbabu dari Jalur Selo. Jalur-jalur ini mulai dihiasi kilat headlamp, dan saat-saat
tanjakan terakhir, saya berpikir kami tidak akan tiba di puncak gunung pada
saat matahari terbit karena hari mulai terang menunjukan golden hour. Saat-saat langit berwarna keemasan dan entahlah, saya
kehabisan kata-kata untuk menggambarkan keindahan yang saya lihat dari lereng
gunung merbabu. Kalau kata seorang teman saya kata-kata yang pas untuk
menggambarkan hal ini adalah “Wah, ga ada kata-kata yang bisa ngegambarin
keindahannya, lo harus liat pake mata
kepala lo sendiri!”. Dan untungnya teman saya yang nyalinya besar ini, mau
bersusah payah melepas carrier dan
mengabadikan momen golden hour ini dengan kameranya. Thanks ardy!
![]() |
Sunrise di Puncak Merbabu |
![]() |
Foto Kaki biar Mainstream |
Puncak
Saya mengeluarkan kamera saya mengabadikan beberapa foto,
lalu ternyata matahari baru akan terbit dan kami tidak terlambat. Saya duduk di
pinggir lereng dengan kaki menjuntai kebawah. Meletakan kamera saya dan
memutuskan mengingat saat-saat itu dengan mata dan ingatan saya. Semburat warna
fajar di pagi hari, hembusan dingin angin, dan suara-suara bahagia manusia di
belakang saya. Eric Weiner menjelaskan ada hal yang berbeda antara kesenangan(joy) dan kebahagiaan (Happiness) dalam bukunya yang berjudul The Geography of Bliss, bagi saya jika
melihat matahari terbit adalah sebuah kesenangan, saya harap saya bisa
melihatnya setiap hari dan saya menjadi orang yang bahagia. Seperti seorang
teman yang mengatakan bahwa saya adalah ‘Pengejar Sunrise’, rasanya memang beda
melihat matahari terbit, seperti memberikan nafas baru bagi hidup saya. Pagi itu saya cuma mau bilang khusus untuk teman saya
yang bernama Ardy Ramadhan yang telah menjadi pemandu saya di Gunung Merbabu,
seorang teman yang setelah 4 tahun baru kembali bertemu dan dengan tidak waras
melakukan pendakian ini berdua dengan saya, saya yang kala itu sejujur-jujurnya
sedang dalam kondisi depresi:
“Gw ga pernah nyangka kita akan reunian dengan cara yang
sangat-sangat aneh dan dramatis ini. Ini adalah pendakian terindah yang pernah
gw alami sejauh ini, terutama disaat roda kehidupan gw lagi di bawah dan macet
kurang oli. Dan itu semua karena lo yang mau menanggapi ajakan tolol seorang
teman yang udah 4 tahun ga lo temuin. Semoga lo ikhlas dan nggak nyesel jalan
sama gw.”
Pulang.
1 Jam 40 Menit.
Adalah waktu yang kami butuhkan dari Sabana
I sampai ke Basecamp. Sebuah rekor catatan waktu turun gunung tercepat untuk
kami berdua. “We make it, dy.”
![]() |
Akhirnya Sampe Bawah Dengan Selamat |
A Little Touched By God: Wake up every
morning, stand before a mirror, and said deeply inside your mind, “What will
you do if today is your last day?”
Komentar
Posting Komentar