Hello! Lama tidak bersua dengan saya, yup yup, karena ini
blog perjalanan mungkin akan tidak sesuai jika saya menulis belakangan ini
disaat saya tidak pernah melakukan perjalanan sama sekali. Wait! Setelah saya
pikir-pikir, justru saya sedang melakukan sebuah perjalanan
belakangan ini, perjalanan dengan tema endurance
atau bertahan dengan hidup saya. Saya sedang melalui sebuah fase perjalanan
dalam hidup saya yang saya sebut sebagai “Menempuh Akhir Masa Keemasan”
hahahaha. Ya, mahasiswa tingkat akhir, masa-masa saya bisa bermanja diri
menggunakan uang orang tua akan segera berakhir, dan pada semester akhir ini
saya dihadapkan dengan berbagai petualangan hidup yang cukup berat.
Maybe, at the very deep of my personality, I’m a sentimental
person. Saya jarang merasa hidup saya
memiliki masalah, kadang saya sering mengatakan “masalah dalam hidup saya
adalah saya tidak punya masalah.” Namun belakangan, saya merasakan apa yang
disebut dengan anxiety atau rasa
kekhawatiran yang berlebihan. Saya merasa saya tidak bahagia dan saya merasa
saya tidak menghasilkan apapun. Sejak tahun lalu dan dimulainya skripsi, saya
meninggalkan dunia perjalanan yang selama ini saya jalani dan hampir tidak
terpisah dari hidup saya. Saya pergi kemana ada orang yang akan pergi.
Perjalanan menjadi sebuah prioritas hidup sementara saya mengatur hidup kuliah
saya pada level “cukup”. Lalu, pada bulan Agustus tahun lalu saya menyatakan
pada diri sendiri, “Saya harus kembali ke dunia perkuliahan saya, menyelesaikan
skripsi saya secepat mungkin dan saya akan kembali ke dunia saya (dunia
perjalanan saya).” Dan dimulailah perjalanan yang setiap langkahnya seperti
saya sesali sekarang ini.
Skripsi, sebuah hasil karya dari seorang mahasiswa. Seorang
teman saya mengajarkan kepada saya tentang pentingnya penelitian, sehingga saya
bersemangat untuk mengerjakan skripsi saya sebaik mungkin. Namun, semakin
seiring dengan perjalanan seperti sebuah perjalanan mendaki gunung, tenaga yang
makin habis dan idealisme saya pun akhirnya tergerus menghadapi fakta bahwa
ternyata ‘’skripsi tidak harus sebaik itu, yang penting adalah lulus. Karena
pada akhirnya tidak seorang pun yang akan menganggap hasil skripsi saya serius.
Banyak yang mengerjakan skripsi tanpa logika pemikiran yang benar atau bahkan
mengutip dengan benar dan lulus.” – ibaratnya, ‘’apa sih yang bisa dilakukan oleh mahasiswa S1?”. Lalu teman saya
mengatakan, “tapi, apa lo puas kalo
skripsi lo hasil copy-paste?” dan ini mungkin yang menjadi dilema saya.
“Ini indonesia dimana penelitian sedikit dihargai, dan seperti yang diungkapkan
oleh seorang teman, ‘skripsi yang baik itu yang buat lo lulus.’’’. Singkat
cerita saya menyelesaikan skripsi saya, sidang, dan gagal. Yup, saya harus
sidang ulang dan mengganti beberapa hal dalam skripsi saya. Bagaimana rasanya?
Saya menolak kegagalan saya, karena saya merasa seharusnya saya sudah lulus dan
saya kembali ke dunia perjalanan saya. Kembali pada diri saya sendiri. Sebuah
perjalanan menunggu, perjalanan dengan saya tanpa embel-embel ‘mahasiswa’,
dimana tidak seorang pun mengenal dan menjustifikasi
saya.
Lalu teman saya kembali mengatakan, “li, rejection forge your heart harder.” Yes, it
is. Rejection won’t change anything, only push you further into the corner.
Lalu sembari melakukan apa yang bisa saya lakukan, saya memutuskan untuk
merenenungkan kembali apa yang saya lakukan beberapa bulan belakangan ini. Saya
melewati begitu banyak perjalanan, saya melewati begitu banyak waktu yang
seharusnya saya bisa habiskan bersama teman-teman saya. Kemudian timbul
pertanyaan, “bukankah memang wajar menghabiskan begitu banyak waktu untuk
sebuah karya akhir?” ya, seharusnya
demikian, tapi saya menyesal karena sepertinya saya masih bisa melakukan
hal-hal lain melakukan hal yang saya suka. Saya pikir, saya bisa bertahan dan
memenangkan “endurance game” ini., tapi ternyata saya salah. Ketika hasil
karya saya yang menyita waktu begitu banyak diabaikan begitu saja, saya marah
karena saya sudah kehilangan begitu banyak hal untuk itu. Saya kehilangan
waktu. I lose for nothing.
Walaupun semua orang bilang pada akhirnya saya pasti
akan lulus juga, tapi rasanya saya menemukan hal lain yang tidak bisa
dikembalikan, waktu. Saya pikir saya bodoh, 7 bulan saya melarang diri saya
untuk membaca novel, menulis blog, atau berjalan-jalan, dengan harapan skripsi
saya akan cepat selesai. Ternyata tidak semudah itu. Dan ternyata itu adalah
tindakan bodoh. Seharusnya... seharusnya... dan seharusnya... rejection forge your heart harder.
Akhirnya, beberapa hari belakangan ini saya merenungkan
hidup saya. Saya kembali memikirkan pagi yang saya hilangkan begitu saja dengan
tertidur karena begadang untuk karya akhir saya, waktu akhir pekan yang
seharusnya bisa saya gunakan untuk bersama
keluarga, memang saya masih bersama keluarga saya dan teman-teman tetapi
pikiran saya seperti tidak pada tempatnya. I think I miss the journey, I
focused too much on the destination. Padahal selama proses pembuatan skripsi saya, saya seharusnya belajar menjadi orang yang lebih rendah diri, saya banyak dibantu orang lain dan hasil akhir tidak selalu seperti yang saya inginkan.
Saat saya menulis ini di perpustakaan kampus saya, tanpa
sengaja saya membaca sebuah tulisan di dinding
“When you run so fast to get
somewhere, you miss half the fun of getting there. When you worry and hurry
through your day, it’s like an unopened gift thrown away.” Entah kenapa ada
tulisan itu di sebuah rak majalah, ditulis oleh seorang gadis cilik sakit yang
dirawat di sebuah rumah sakit di New York.
Sepertinya seorang anak kecil lebih mengerti hidup dari pada saya.
Sekarang saya kembali menyusun perjalanan-perjalanan saya, mengumpulkan uang
dan menghubungi kembali teman-teman perjalanan saya. Mengatur waktu untuk
menikmati alam bersama, waktu yang hanya tinggal beberapa bulan lagi sebelum
saya dipaksa oleh masyarakat dan keluarga untuk bekerja dan mandiri. Mungkin saya
terdengar malas? Atau terdengar seperti orang yang sedang menyerah? Mugkin saya
memang begitu. Namun saya hanya ingin hidup saya kembali, tidak dibawah emosi
karena beberapa orang berhasil meng-nolkan segala usaha saya. Sepertinya saya harus lebih banyak berkomunikasi dengan diri saya sendiri. Seperti seorang pesakit hati, tidak akan ada seorang pun yang dapat menyembuhkannya, karena hanya diri sendiri yang tau cara menyembuhkan hati yang sakit. Kalau saya merujuk pada definisi teman saya tentang 'gangguan jiwa', sepertinya saya memang sakit sekarang.
Ilmu ikhlas dan
sabar itu sulit, mungkin itu yang ingin Tuhan ajarkan kepada saya. Ikhlas itu
bukan mencari-cari alasan untuk merelakan, untuk ikhlas saya rasa itu harus
datang dari sendiri bukan dari orang lain, seperti misalnya saya sering kali
bilang, “Ya gimana bisa ikhlas kalo....” jika semua yang saya ingin sesuai
seperti yang saya inginkan, sampai mati saya tidak akan pernah belajar ilmu ikhlas.
Sedangkan sabar, ya saya rasa ini adalah weakness
point saya, karena tidak mau sabar saya menghabiskan begitu banyak waktu
untuk suatu hal yang tidak perlu. I spent
my day with worry and hurry.
Saya ingin rasanya mengutuk mereka yang menghambat hidup
saya, tapi seperti sebuah tulisan yang saya baca, ketika kita merutuki orang
lain maka malaikat akan membacakan hal yang sama untuk kita kepada Tuhan. So,
untuk bapak-bapak disana yang mengajarkan saya untuk bersabar dan ikhlas,
semoga pekerjaan bapak dilancarkan dan bapak bahagia dengan hidup bapak,
lalu... sampai berjumpa minggu depan!
Alittletouchedbygod: Setelah menulis ini saya kembali diingatkan tentang betapa menyenangkannya menulis.
Komentar
Posting Komentar