Selamat tinggal 2013! Sebentar
lagi saya akan membuka lembaran baru di tahun yang baru. Dengan resolusi yang
baru dan mungkin impian-impian aneh yang lebih banyak tidak tercapai
dibandingkan yang tercapai. Namun, di akhir tahun ini saya ingin menceritakan
sebuah hal yang sangat special dala
hati saya, sesuatu yang kadang membuat kepala saya sakit dan kadang membuat
saya mengangguk-anggukan kepala seolah mengerti dunia dengan lebih baik. Hal
itu adalah “membaca”. Sepertinya membaca
bukan lagi menjadi sebuah hobi bagi saya, namun kadang hal ini menjadi pelarian
dari hidup saya yang kadang tidak seindah resolusi di setiap akhir tahun.
“Membaca” adalah perintah pertama
yang diturunkan oleh Tuhan saya kepada Nabi dalam agama saya ketika pertama
kali wahyu turun. Membaca, membaca, membaca. Ada sesuatu hal yang sangat
penting dalam kegiatan yang satu ini, hingga bahkan Tuhan saya memerintahkan
“Bacalah!” alih-alih “Sembahah Aku!”. Yak, Sayangnya bukan itu yang ingin saya
ceritakan saya disini, saya tidak akan mengeluarkan ayat-ayat sakti dan guyuran
rohani di dalam tulisan ini. Saya hanya akan menulis dari sudut pandang seorang
manusia yang belum dewasa dan terkadang terlalu bodoh untuk membaca buku-buku
kuliah tebal dengan hiasan cacing-cacing aljabar didalamnya.
Dimulai sejak saya kecil, -well, it’s gonna be a very long story, who’s
care?! This is my blog! Haha!- Sewaktu saya kecil, ibu atau nenek saya suka
mengajak saya pergi ke pasar buku bekas di Pasar Senen, Jakarta. Disana saya
bisa menemukan komik, novel, majalah bobo bekas, dengan harga yang murah
meriah! Dan jika saya berbelanja buku disana, ibu saya mau membelikan saya buku
lebih banyak dibandingkan dengan di toko buku modern, jadi bagi saya PASAR SENEN ITU SURGA! Buku favorit saya
waktu saya kecil adalah Seri Dongeng terbitan elex media, Paman Gober (mungkin
karena komik ini akhirnya saya masuk Fakultas Ekonomi), dan Majalah Bobo. Jika
di film-film, bed-time stories hanya untuk malam hari, bagi saya setiap mau tidur
(siang atau malam) setidaknya seseorang harus membacakan majalah atau buku
(waktu itu saya belum bisa baca). Lalu, saat saya SD saya mulai mengkhayalkan
dongeng-dongeng saya sendiri dan menyukai hal lainnya yaitu menulis. Mungkin
benar kata seseorang yang pernah saya dengar, “Untuk bisa menulis, seseorang harus banyak membaca. Sehingga dia
benar-benar tau apa yang mau ia tuliskan.”
Dan lalu, saat saya melalui
masa-masa SMP. Saya bahkan masih menulis Diary! Dan sekarang buku itu menjadi lawakan tersendiri bagi saya ketika
dibaca. Tapi saya kemudian masih
ingat, alasan saya menulis dalam diary dan
alasan saya masih belum membakar atau membuang diary saya jauh-jauh. Alasan sederhana: ketika saya punya seorang
anak yang berusia remaja, saya ingin dia membaca tulisan saya sewaktu saya
berusia sama dengan dia, lalu mengingatkan saya bahwa saya bukan seorang
manusia yang lahir dan langsung dewasa tetapi juga pernah melalui masa-masa
sulit saat remaja.
Kembali lagi ke membaca, saya
bukan seorang anak dengan IQ jenius yang membaca ribuan buku ensiklopedia. Saya
hanya membaca hal-hal yang sederhana, kadang mungkin yang sedikit lebih ‘berisi’, tapi sebagian besar buku yang saya baca adalah novel fiksi dan yang
menjadi favorit adalah saya adalah novel-novel terjemahan seperti The Last
Empress, Klan Otori Series, Harry Potter, Black Magician Trilogy, Artemis Fowl
dan novel fiksi lainnya. Buku-buku ini kadang seperti membawa saya ke
tempat-tempat jauh di luar Indonesia. Mungkin bisa jadi, dimulai dari situ
akhirnya saya menyukai perjalanan ‘yang sebenarnya’ dibandingkan dengan hanya
membaca dari buku. Oh iya, saya jadi teringat karena membaca buku tentang fosil
dinosaurus sewaktu saya kecil teman-teman orang tua saya mungkin merasa aneh
setiap kali saya menjawab pertanyaan, “Nanti kalau udah gede mau jadi apa?” dan
saya menjawab, “Paleontologis.” Saya pikir-pikir, pantas saja waktu dulu tidak
ada orang yang menanyakan pertanyaan lanjutan haha.
Baiklah membaca dan tentang
sekarang ini…
Akhir-akhir ini saya sedang
berada dalam penjara dunia yaitu: skripsi dan lupakan lah semua perjalanan
jauh! Saya menolak ajakan teman-teman dan saudara yang mengajak saya ke
tempat-tempat yang sudah lama saya idam-idamkan. Carrier dan peralatan camping
saya seperti menertawakan saya
setiap kali saya lihat tergeletak diujung kamar dengan sedikit debu. Akhirnya,
saya kembali. Saya kembali mencari pelarian saya dengan membaca. Saya butuh
pengalih perhatian dari dunia yang mulai saya benci. Namun kali ini, saya lebih
banyak membaca buku-buku yang bercerita tentang kehidupan. Mungkin karena saya
sedang mencari jawaban tentang berbagai hal dalam hidup saya yang ke 21 tahun
ini.
Question. Life. And Book.
Akhir-akhir ini saya jadi sering bertanya-tanya tentang hal-hal yang
sangat dasar, “Kenapa orang bahagia?” “kenapa orang bekerja?” “Kenapa orang
menikah dan punya anak lalu akhirnya bercerai?” dan lalu kadang saya juga
berpikir, “Kenapa saya harus belajar? Apakah menjadi sarjana akan menjadikan
saya orang yang sukses?” lalu kembali lagi ke pertanyaan “Apakah orang-orang
yang memenangkan kompetisi di dunia ini bahagia?”. Hal-hal tidak penting yang
sering keluar masuk kepala saya alih-alih tentang harga saham dan lain
sebagainya. Sedikit banyak, teman saya yang seorang anak psikologi membawa saya
untuk melihat masalah dari segi psikologis manusia yang kadang terlupakan oleh
orang-orang dari ilmu eksakta atau bahkan ilmu ekonomi sekalipun. Dan mulailah
saya membaca buku-buku tentang kehidupan dan hubungan manusia. Mungkin dengan
begitu saya bisa mencari sesuatu hal yang bisa membawa ‘ketenangan’ selama saya
tidak bisa berpergian. Saya membaca dan mulai melihat hal-hal yang saya baca
dalam dunia nyata, walaupun seorang yang dekat dengan saya pernah bilang “Ya, itu kan teori dibuku li.” Tapi bagi saya membaca itu seperti kadang
memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mudah diatas yang tidak bisa saya
jawab. Dan terkadang apa yang tertulis dibuku memang terjadi seperti itu di
dunia saya, seperti sebuah buku yang mengatakan, “The World is a mirror of our mood.”. kata-kata yang singkat,
bahkan saya membacanya dari sebuah novel fiksi bukan dari sebuah buku psikologi.
Namun ketika diperhatikan lebih dalam ditambah dengan sedikit kepercayaan,
kata-kata itu menjadi nyata bagi saya. Mungkin saya delusional. Entahlah. Tapi
jika menjadi delusional dan saya bisa mati dengan bahagia tanpa merugikan orang
lain, saya rasa itu harga yang pantas untuk dibayar. –oke ini terdengar
menyeramkan. Hahaha.
Pada saat ini saya membagi buku yang baca menjadi dua garis besar,
yaitu Buku Kuliah dan Buku Hiburan. Jadi buku apapun itu selain buku kuliah
akan menjadi buku hiburan bagi saya. Membaca buku kuliah di jurusan keuangan
mengajarkan saya satu hal: Betapa takutnya
manusia akan masa depan. Semua ingin diukur, direncanakan, diantisipasi,
dilindungi, pada intinya semua harus SESUAI dengan EKSPEKTASI. Mungkin ini
alasannya ibu saya sering kali mengatakan orang-orang di negeri Paman Sam tidak
punya Tuhan, semakin manusia semakin pintar memprediksi semakin ‘tangan-tangan’
Tuhan tidak dibutuhkan. Bukan hanya buku kuliah yang mengajarkan ini, kadang
lingkungan yang begitu mendorong saya untuk berkompetisi tinggi, membuat saya
takut menghadapi masa depan. Takut akan berada dibawah ekspektasi. Dan seperti
dalam novel Life of Pi, “Fear is life
true opponent. Only fear can defeat life.”. Masuk akal, jika rasa takut
berada dibawah ekspektasi yang pada akhirnya membawa anak-anak yang
diekspektasi terlalu tinggi tidak berani ambil risiko dan berakhir pada hidup
yang ‘biasa-biasa’ saja.
Buku-buku hiburan yang sejauh ini saya baca dan pengalaman saya
mengatakan satu hal: Jika ingin bahagia, mulai dari dalam diri sendiri.
Beberapa orang mungkin menyebutnya inner peace.
Ibaratnya, tidak ada orang yang lebih mengenal dirimu daripada dirimu sendiri, jika kamu tidak bisa membahagiakan diri sendiri
jangan harap orang lain bisa. Bagi saya, masih sangat sulit untuk selalu
merasa ‘bahagia’, kadang saya merasa saya perlu berdamai dengan diri sendiri
lalu kemudian dengan dunia, namun saya bukan Dalai Lama atau Budha yang
terbiasa bermeditasi untuk mencapai inner
peace. Berdialog dengan diri adalah hal yang sulit untuk saya lakukan, bagi
saya melakukan perjalanan seorang diri adalah waktu bagi saya untuk berdialog dengan
diri sendiri untuk berdamai dengan diri saya. –Oke, mungkin sekarang tulisan
ini mulai terdengar sedikit sinting, well
here I am nobody but ordinary person who loves to read.
Oh iya, mungkin pada akhirnya saya hanya seorang yang mencari jalan
pintas untuk mencari sedikit oase di padang pasir tandus bernama: KULIAH ini.
Hmmm….hari sudah malam, dan saya masih punya setumpuk buku untuk di baca! Ciao!
lo baca klan otori juga tooooohhh :D
BalasHapus