Oke,
ditengah-tengah saat menuju ujian tengah semester ini saya tiba-tiba merasa
perlu untuk menuliskan perjalanan yang lagi-lagi sendirian ke Bali Timur bulan
Januari lalu. Berawal dari kebosanan hari
libur di rumah yang tidak jauh-jauh dari laptop-internet-kamar
tidur-kamar mandi dikarenakan cuaca bulan januari yang tidak mendukung dan
banjir yang mendera Jakarta, akhirnya saya berpikiran untuk pergi ke sebuah
tempat yang sudah familiar, nggak jauh-jauh amat, aksesbilitas lengkap intinya
nyari jalan-jalan yang ga susah-susah amat walaupun sendiri (karena nyari orang
buat temen jalan disaat liburan itu sama aja susahnya sama nyari temen jalan
pas kuliah). Dengan random, di siang hari yang diguyur ujan itu, saya
mencari-cari tiket pesawat ke bali. Ya, pulau mainstream yang sudah sering kali
terdengar dikuping. Sempet kepikiran sih “yah, culun banget jalan-jalan Cuma ke
bali.” Tapi toh jalan-jalan kan pakai
uang sendiri, untuk kesenangan sendiri, peduli amat sama orang-orang yang
bakalan bilang “perjalanan lo biasa banget.”, dalam hati saya bilang, “walaupun
ke bali sekalipun, pulau impian sejuta umat, pulau mainstream, gw bakal bikin
perjalanan ini ga biasa. “ Dan akhirnya tepat tanggal 31 Januari 2013, saya kembali
terbang ke bali bersama seorang sepupu saya, nah trus dimana solo travelingnya?
Bali, 31
Januari 2013
Tiba di
Bali. Kagum dengan pembangunan bandara yang cukup ‘’gila’’. Bersama seorang
sepupu yang membawa koper besar, sementara saya Cuma bawa satu tas ransel dan
tas kamera. Oke. Mempersingkat cerita, ini adalah sepupu saya yang sama-sama
random dan tiba-tiba ‘’ngikutin’’ saya ke bali. Tapi karena tujuan saya jatuh
pada daerah di Bali yang nun jauh di utara sana, dia stay di denpasar, sampai
saya kembali lagi ke denpasar dan menjadi tour-guidenya dia selama beberapa
hari haha. .
Sepeda
motor yang saya pesan kurang dari 12 jam sebelumnya sudah tiba di bandara dan
siaplah saya menjelajah bali dengan sepeda motor ini ke tempat-tempat indah
yang terbayang dikepala.
Menuju
Bloo Lagoon.
“nama
pantainya Bloo Lagoon. Enak banget tempatnya buat baca buku. Parah deh.”
Yap.
Saya menuju tempat ini segera setelah saya mengantar sepupu saya itu ke tempat
yang aman. Mengendarai motor dicuaca yang ternyata panas (ANJRITT DIJAKARTA
BANJIR DI BALI PANASNYA GILA!). tanpa persiapan sunblock, saya terus meng-gas
motor melalui jalur by pass luas, mengingat saya pernah melewati jalur yang
sama bersama ibu saya dengan sepeda motor sejenis untuk sekedar ke kebun
binatang di Pulau Dewata itu 2 Tahun lalu. Lagu-lagu endah n rhesa mengalun di
separuh kuping saya (Cuma sebelah yang dipakein headset, takut ‘budek’ dijalan
haha)
… lalu
jalanan mulai berkelok dan menyempit, jalan panas berganti suasana dengan jalan
rindang.
“harus santai
li, kali ini lo harus bener-bener nikmatin bali.” Adalah kata-kata yang selalu
berulang di kepala saya saat mengendarai motor yang kecepatannya nggak pernah
lebih dari 80km/jam itu, saya benar-benar ingin menikmati udara, suara,
pemandangan, kehidupan pesisir, dan (terkadang) indahnya kesendirian.
Melewati
gua lalay, teringat supir shuttle bis
2 tahun lalu yang mengantar saya menuju padang bai “Nih, dek ini di goa ini
banyak kelelawarnya, bau tapi.” Heran juga saya masih ingat, momen-momen kecil
itu. Sesampainya saya di Padang Bai, saya langsung mencari Hotel Patra, tempat
saya menginap dua tahun yang lalu, dimana saya disambut dengan ramah oleh
pemiliknya yang terheran-heran melihat saya datang seorang diri kesana pada
umur 17 tahun.
Kecewa.
Sedikit kecewa, pemilik yang menyambut saya bukan orang yang sama, dan kamar
disana penuh. Lalu ditawarkan lah saya dikamar yang lain di belakang hotel itu
(yang ternyata lebih bagus) dengan harga yang cukup murah (tanpa perlu menawar
gigih). Melepas semua peralatan, membawa kamera, buku, dan air saya kembali
membawa tas jingga saya yang setia itu menuju “Bloo Lagoon”. Oh iya, sebelum saya ke hotel itu saya sempet
cek lokasi dan akhirnya menemukan pantai kecil itu dengan papan kecil
bertuliskan “Pantai Blue Lagoon’’, jadi setelah saya siap (setelan leyeh-leyeh
di pantai) saya langsung menuju TKP.
Well,
now I’m the only one domestic tourist on the shore!
Celingak-celinguk,
saya diajakin ngomong bahasa inggris sama yang nyewain alat snorkeling, mungkin
emang jarang banget mereka nemuin orang Indonesia, perempuan, jalan sendiri,
bawa tas ransel (bukan tas jinjing/ koper).
“Hello! Where are you from?”
trus saya jawab “Lahh, saya orang
Indonesia bli.”,
“oh, saya kira bule Thailand
mbak.”

Pada akhirnya, saya menikmati
sore itu (sangat) dan sekali lagi berterimakasih dalam hati pada teman saya
yang menunjukan kepada saya tempat indah itu, yang bukan sekedar indah tapi
menyenangkan. Tempat indah itu banyak, yang menyenangkan itu baru jarang. Nggak
sedikit, tempat indah yang bikin saya kapok datang atau minimal berlama-lama
di/kesana lagi.
Sisa sore itu saya habiskan untuk
pergi ke pelosok rumah-rumah penduduk di Padang Bai yang jauh dari para turis,
dengan tujuan mencari makanan murah. Berjubel di warung kelontong dengan tas
ransel cukup seru juga ternyata dan membuahkan nasi bungkus seharga “Rp.
3000,-“ cihuyy!
Di hotel itu, saya sempat
mengobrol dengan pasangan muda (yang pastinya belum menikah) yang sedang
melakukan pra-honeymoon di Bali. 3 bulan di bali. Luar Biasa agresif untuk soal
tawar menawar. Yang ternyata saya bayar dengan harga yang sama si mr. & mrs
finland ini. Moral of the story: Di bali turis domestic / internasional sama
aja harganya. Di hotel itu juga, paginya saya dikasih roti yang sudah (agak)
berjamur (thanks god selainya pas abis, nggak tau deh kalo pake selai itu selai
udah kadaluarsa apa belum), tapi disaat yang sama juga menikmati tidur paling
nyenyak selama 3 bulan terakhir. Saya lupa nama hotel itu apa, yang jelas saya
cukup senang menginap disana semalam.
Menuju
Amed.
Amed.
Ya, tujuan utama saya kali ini adalah amed. Nama yang asing mungkin untuk
sebagian besar orang Indonesia mengingat jarangnya orang Indonesia yang jarang
sekali bisa diving atau snorkeling sekalipun. Amed, bersebelahan dengan
Tulamben, pesisir pantai yang disinyalir salah satu majalah pariwisata bali
(gratisan) sebagai kuta di tahun 70-an .
tapi alas an saya pergi ke tempat ini adalah perkataan seorang teman kampus yang
sangat saya percaya “Gila li, lo harus banget kea med. Indah banget disana.”
Dan sepanjang pengalaman saya, kalau teman saya yang ini udah bilang ‘’Indah’’,
tempat itu bukan sembarang tempat dengan pemandangan indah, pasti ada
‘’sesuatu’’ disana. Amed sendiri adalah salah satu diving site di bali yang
terkenal dengan japanesse ship wreck-nya dan snorkeling site yang beach entry!
Nggak perlu pake kapal bisa langsung snorkeling-an. Sayangnya hari itu,
perjalanan hari itu menuju Amed, cuaca berubah total: Hujan Deras.
Yup.
Saat saya menuju Amed, saya singgah dulu di desa Bali Aga yang terkenal dengan
kain grinsingnya, berniat untuk membeli kain sebagai oleh2 untuk teman saya. Dan
pagi itu, setelah saya sempat merusakan jok motor sewaan saya, hujan turun dengan
deras di perjalanan menuju Desa bali Aga. Saya menepi di sebuah tempat
penjualan ayam, dan ditemani lagu menanti hujan reda.
Setengah
jam berlalu…
Dan
masih hujan. Deras.
![]() |
Menepi Karena Hujan |
“Oh god.
Sial banget gw hari ini, Udah ngerusakin motor orang, helm sempet nyemplung ke
got, ujannya nggak berenti. kenapa sih ya Tuhan? Berentiin ujannya bentar
bisa kali.” Keluh saya dalam hati. Sedihnya solo traveling ya disaat seperti
ini, nggak ada orang yang bisa menenangkan jiwa yang lagi merasa di-kutuk ini.
Setelah
hujan sedikit reda, saya melanjutkan perjalnan sedikit dan ternyata saya sudah
sampai di desa itu. Yang kalo menurut saya sih nggak desa yang ‘primitif’ gitu.
Udah ada motor, listrik, sekolah. Yang hebohnya adalah kain grinsing lebar 1 x
2meter aja bisa dihargai “3JUTA RUPIAH”. Pupuslah sudah keinginan saya membawa
oleh-oleh buat teman-teman seperjuangan. Bukannya nggak cinta, nggak sayang
tapi duit segitu sih bisa buat gw ke Pulau Komodo.
Melanjutkan
Perjalanan Menuju Amed.
Diperjalanan
menuju amed ini saya justru menemukan papan nama restoran lele “Lele Wayan”
yang logonya sama persis sama “Lele Lela”. Entah ini berkat google atau
kebetulan pak wayan suaminya bu lela. #randomThings
Sempat
berhenti di sebuah bengkel karena hujan ditengah jalan makin besar, dan well beranginnya itu loh yang bikin helm
gw yang kebesaran itu rasanya mau bikin kepala saya copot. Waktu saya masuk ke
bengkel ini, orang-orangnya cukup heran melihat ada orang tiba-tiba masuk
garasinya dan bilang “Pak numpang neduh ya.”. lebih heran lagi, saya jauh-jauh
dari denpasar, naik motor, dan sendirian. Setelah ngobrol panjang lebar (sampe
sempet ditawarin hotel di amed), hujan kembali reda dan saya kembali
melanjutkan perjalanan hari itu yang mengguyur saya seharian dengan air hujan.
Sekitaran
pukul 3 Sore saya tiba di Amed.
Sukses
melewati kota-kota kecil, jalan-jalan berliku, belokan-belokan tanpa petunjuk
arah. “nah ini baru namanya hidup!”
Amed.
Sepi dan basah.
![]() |
Basah dan Disangka Wartawan |
Amed
memang sepi, tidak banyak turis lalu-lalang
dan baju saya sudah basah lembab berkat hujan hari itu.
Kesan
awal adalah banyak hotel dikanan dan kiri jalan, walaupun tidak sebanyak
dikuta. Jalanan naik turun (padahal ini udah dipinggir pantai), dan pastinya
saya menemukan bukit yang ada dimajalah gratisan yang saya ambil di hotel
sebelumnya. Dari bukit itu, saya bisa melihat pesisir amed yang berbentuk sabit
dengan latar belakang (seharusnya)
gunung agung. Ini adalah yang saya cari, pemandangan lengkap gunung, laut, dan
hutan. Dan karena saya punya peraturan sendiri untuk mencari hotel lebih dulu,
baru berjalan-jalan, saya akhrinya tertarik pada sebuah hotel dengan papan nama
“Cheap and Clean Room. Rp.100.000!” .
Oke,
hotelnya emang seharga 100.000 rupiah, tapi servicesnya itu loh. Makan pagi
bisa milih pancake jenis apa, minum bisa orange juice, kamar ala pengantin,
kamar mandi sebesar kamar kos.an saya. Dan yang paling penting dari lantai
paling atas (kamar saya menginap), saya bisa melihat laut dan sinar matahari
yang mulai terbenam ditambah lagi dengan sofa empuk depan kamar. PERFECTO!
Kamar Ala Pengantin |
Pekerjaan
saya sore itu adalah setengah tidur depan kamar, baca buku, dan berteriak dalam
hati “AAA! Andai gw kesini sama pasangan, ciamik banget!” . Sayangnya karena
malam itu hujan, esok harinya saya tidak direkomendasikan snorkeling karena
lumpur dari gunung yang turun dan membuat air keruh, tapi saya cukup puas
dengan menginap di hotel itu, dan menghabiskan waktu cukup lama di bukit itu
sambil menatap gunung agung yang pagi berikutnya terlihat jelas juga dengan
warna-warni terumbu karang yang terlihat dari atas bukit. Ya, saya Cuma
berharap disaat saya datang bersama orang yang, well pasangan sejati saya
tempat ini masih akan seindah, setenang, dan semenyenangkan ini.
Lucu: Pagi itu, disaat saya
leyeh-leyeh di pasir sambil menimati sunrise, saya diikuti anjing yang tampak
seperti anjing rabies (dibali dimana-mana banyak petunjuk tentang anjing
rabies, kan gw jadi parno!), hingga akhirnya saya masuk sembarangan ke resort
mahal di daerah itu, dan ngumpet dibalik gerbang. Ya, ternyata megang batu
sambil teriak “Pergi ga lo!” sama anjing itu nggak nge-effect!
![]() |
Amed dan Terumbu Karang |
![]() |
Berfoto Sendiri di Pagi (Setengah) Buta |
How to get there:
Kendaraan: Motorbike
Selatan à Timur à Utara
Denpasar – Padang Bay
Padang Bay – Desa Bali Aga
Desa Bali Aga – Amed
*not recommended use shuttle bus,
Denpasar – Amed Rp.400.000/sekali jalan.
*itin lengkap menyusul
A little Touched by God: Sedih
juga datang ke tempat untuk honeymoon sendirian. At least, these places are
really recommended to have a (LOT of ) peaceful
Komentar
Posting Komentar